A.
Lingkungan Keluarga
Lingkungan
keluarga merupakan wahana untuk memantapkan adat istiadat yang ada di
lingkungan masyarakat kita yang mencangkup sistem nilai sosial dan budaya,
sistem norma dan norma-norma agama. Sebagai mana telah kita pelajari pada Bab I
(satu) tentang konsep dasar budaya bahwa fungsi sistem budaya adalah menata dan
memantapkan tindakan-tindakan serta tingkah laku manusia.
Proses
pemantapan ini dilakukan melalui pembudayaan atau institutionalization
(pelembagaan). Dalam proses pelembagaan ini, seseorang individu mempelajari dan
menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat-adat, sistem norma dan
peraturan yang hidup dalam kebudayaannya. Proses ini dimulai sejak kecil, mulai
dari lingkungan keluarganya, kemudian dengan lingkungan di luar rumah, mula-mula
dengan meniru berbagai macam tindakan. Setelah perasaan dan nilai budaya yang
memberikan motivasi akan tindakan meniru itu akan diinternalisasi dalam
kepribadiannya, maka tindakan itu menjadi suatu pola yang mantap, dan norma
yang mengatur tindakannya dibudadyakan. Tetapi ada juga individu yang dalam
pross pembudayaan tersebut yang mengalami deviants, artinya individu yang tidak
dapat menyesuaikan dirinya dengan sistem budaya dilingkungan sosial sekitarnya
(Soelaeman, 2005).
Hampir di
seluruh dunia, keluarga sering disebut dengan unit dasar, atau kelompok
fundamental atau juga karakteristik yang paling penting dari masyarakat. Tetapi
untuk pembahasan kita, keluarga didefinisikan sebagai ibu dan ayah serta
anak-anak yang hidup bersama (Sweedlun dan Crawford, 1956).
Sebelum
seseorang melangsungkan pernikahan, ada tahap-tahap yang dilalui sebelumnya
yaitu perkenalan, pacaran dan pernikahan. Seseorang bisa saja langsung ke tahap
meminang calon untuk menuju tahap pernikahan.
Pernikahan
adalah gabungan dari dua orang atau lebih yang berlainan jenis kelamin dengan
persetujuan dari masyarakat. Masyarakat menganggap bahwa gabungan laki-laki dan
perempuan ini bagian yang penting menuju kesejahteraan, dan ada semua
masyarakat peraturan tentang pernikahan ini telah dilakukan.
Peraturan-peraturan ini dibuat adalah untuk melindungi tiga fungsi dasar
pernikahan dalam masyarakat. Pertama, pernikahan adalah salah satu cara
masyarakat untuk mengontrol ekspresi dorongan seks karena dorongan seks begitu
kuat sehingga, apabila tidak dibatasi dorongan-dorongan seks tersebut akan
menjadi sumber konflik sosial di masyarakat. Kedua, pernikahan menjamin
keberlangsungan kelompok masyayrakat melalui reproduksi lewat pernikahan.
Ketiga, pernikahan merupakan alat masyarakat untuk memperbaiki tangggung jawab
anak-anak terhadap orang-orang yang khusus terutama pada orang tuanya.
Bentuk-bentuk
pernikahan biasanya di klasifikasikan menjadi dua bentuk yang utuama, yaitu
monogami (pernikahan dengan satu orang pada waktu yang sama) dan poligami
(praktek pernikahan dengan memiliki sejumlah istri atau suami pada waktu yang
sama). Sementara praktek pernikahan poligami sebenarnya ada dua, yaitu poligami
dan poliandri. Poligami (pernikahan satu laki-laki dengan lebih dari satu
klasifikasi wanita pada waktu yang sama). Sementara praktek pernikahan
poliandri ( pernikahan satu wanita
dengan lebih dari satu laki-laki pada waktu yang sama).
Karena
hampir semua masyarakat mengharapkan terpenuhinya tiga fungsi dasar fungsi
pernikahan, banyak aturan yang mengatur lembaga pernikahan ini. Tetapi pada
umumnya peraturan itu adalah meliputi exogami dan endogami. Exogami adalah
pernikahan atau pemilihan calon pendamping dari luar kelompok masyarakatnya
sendiri. sedangkan Endogami adalah pernikahan atau pemilihan calon pendamping
dalam kelompok masyarakatnya sendiri.
Sebagaimana
dijelaskan sebelumnya bahwa keluarga terdiri atas ayah, ibu dan anak-anak, maka
mereka layak disebut juga dengan kelompok manusia. Dari para anggota keluarga
yaitu ayah dan ibu terkait pernikahan, sedangkan terikat oleh ikatan darah
dengan ayah dan ibunya. Apabila ayah dan ibu mengadopsi anak maka anak itu
dianggap sah sebagai anggota keluarga karena terikat oleh ikatan adopsi. Para
anggota keluarga ini tentunya memiliki status atau kedudukan masing-masing.
Mereka saling bertindak dan berhubungan sesuai dengan peranannya itu.
Menurut S.
Belen (1991) terdapat lima unsur penting yang dapat ditemuukan dalam keluarga
ini, yaitu: (1) adanya relasi seks antar pasangan, (2) adanya bentuk pernikahan
atau perkawinan yang mengesahkan relasi seksual antara suami dan istri, (3)
adanya sistem tatanama, (4) adanya fungsi ekonomi, (5) adanya tempat tinggal
bersama.
Sebagaimana
dijelaskan sebelumnya bahwa timbul dan dibentuknhya berbagai peraturan dan tata
tertib yang mengatur pernikahan ini adalah sebenarnya peraturan hubungan seks
antara suami-istri itu supaya tidak menimbulkan konflik sosial di masyarakat.
Keluarga
juga merupakan fungsi pendidikan berarti secara bertahap membawa anak ke dalam
budaya melalui proses sosialisasi. Proses sosialisasi disrtikan sebagai proses
yang harus dilakukan oleh anak-anak dalam memperoleh nilai-nilai dan
pengetahuan tentang kelompoknya dan mereka belajar tentang peran sosialnya yang
cocok dengan kedudukan itu. Proses sosialisasi
ini tentunya dilakukan secara estafet dari satu generasi ke generasi berikutnya
meskipun dalam perjalanannya unsur-unsur kebudayaan mungkin mengalami
perubahan.
Walaupun
telah banyak kemajuan dan perubahan dalam fungsi keluarga ini, tetapi fumgsi
keluarga tetaplah sama dari waktu ke waktu, yaitu : (1) disemua masyarakat
keluarga lebih dipercaya untuk mengemban semua fungsi keluarga seperti yang
dijelaskan sebelumnya. (2) jika ada satu atau lebih fungsi keluarga ini
dipercayakan kepada badan lain dalam suatu masyarakat, seringkali fungsi
perubahan hanya dapat dilakukan dengan dukungan dan semangat ideologi yang
disaertai tekanan politik. (3) setelah usai suatu eksperimentasi, percobaan,
orang secara perlahan-lahan akan kembali kepada kebiasaan keluarga tradisional
(S. Belen, 1991).
-
Tatakrama dalam Keluarga
Tatakrama
sering disebut dengan adat sopan santun, sopan santun pergaulan atau etiket.
Etiket ini seringkali dicampuradukan dengan istilah etika merujuk pada arti
kesusilaan atau moral sedangkan etika atau tatakraam merujuk pada aturan sopa
santun di pergaulan, kebiasaan sopan santun yang disepakati dan diwariskan
dalam pergaulan antar manusia setmpat.
Tatakrama
terdiri atas tata dan krama. Tata berarti adat, aturan, norma, peraturan, krama
berarti sopan santun, kelakuan, tindakan, perbuatan. Dengan demikian tatakrama
adalah adat sopan santun, kebiasaan sopan santun, atau tata sopan santun
didalam pergaulan masyarakat.
Pendidikan
tatakrama terhadap anak-anak dalam keluarga akan sangat menentukan kebiasaan
dan penerapan tatakrama pergaulan mereka tersebut kemudian dalam kehidupan
masyarakatnya. Karena itu, pewarisan tatakrama merupakan proses pewarisan
kebudayaan dari generasi ke generasi yang bersifat memaksa melalui proses
sosialisasi. Meskipun pewarisan tatakrama bersifat memaksa, namun pada dasarnya
tiap tatakrama yang dianjurkan memiliki rasional atau alasan yang kuat demi
kebaikan dan ketentraman hidup, tidak hanya bagi pribadi yang bersangkutan
tetapi juga bagi masyarakat pada umumnya.
Menurut S.
Belen (1991) bahwa proses belajar kebudayaan yang di mulai dari keluarga dapat
dibedakan menjadi 3 jenis yaitu proses internalisasi, proses sosialisasi dan
proses inkulturasi. Proses internalisasi adalah proses yang panjang yang
dimulai individu lahir sampai ia meninggal. Proses ini adalah proses belajar
menanmkan dalam kepribadian individu tentang perasaan, hasrat, nafsu, dan emosi
yang diperlukan disepanjang hidupnya.
Proses
sosialisasi adalah proses belajar yang dialami individu sejak masa kanak-kanak
hingga masa tuanya. Dalam proses ini, individu belajar pola-pola tindakan dalam
i nterakdi dengan berbagai macam individu disekelilingnya yang beraneka-peran
sosial yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Dalam berinteraksi itu, tentunya
berkembang dari lingkungan yang terdekat menuju atau sampai kearah lingkungan
yang kain meluas, dan apa yang di[elajari berkembang dari yang sederhana ke
arah yang kompleks. Sementara it proses enkulturasi adalah proses belajar ytang
dialami individu sejak kecil sampai masa tuanya. Dalam proses ini individu
belajar dan menyesuaikan alam pikiran dan sikapnya dengan adat-adat, sistem
norma dan peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaan masyaraktnya. Orang
sering menyebut bahwa proses enkulturasi adalah proses pembudayaan.
-
Faktor Keberhasilan dan Kegagalan dalam Pernikahan
Latar
belakang sifat-sifat kepribadian seseorang akhir-akhir ini merupakan
faktor-faktor yang menentukan keberhasilan dan kegagalan pernikahan.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan bahwa faktor-faktor keberhasilan
dari sifat-sifat wanita diantaranya adalah sikap, murah hati, mampu bekerja
sama, dan hemat. Sementara sifat laki-laki yang menunjang keberhasilan
pernikahan tersebut diantaranya adalah
kestabilan emosi, mampu bekerja sama, dan konservatif. Sedangkan faktor yang
paling menentukan dalam kegagalan pernikahan adalah bahwa seseorang tidak mampu
untuk menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi yang baru melalui proses
pernikahan ini. Mungkin saja tahapan dalam proses menuju ke jenjang pernikahan
tidak dilakui sebelumnya. Lihat paparan tentang tahapan untuk menuju ke jenjang
pernikahan pada awal pembahasan kegiatan belajar 1 (satu) ini. Lewis M Terman
dalam Sweedlun dan Crawford (1956) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang
menentukan keberhasilan pernikahan seseorang adalah (1) kebahagiaan pernikahan
orang tua, (2) kebahagiaan dimasa kanak-kanak, (3) tidak sering terjadi konflik
dengan ibu, (4) disiplin dalam rumah diwaktu kecil, (5) dekat dengan ibu, (6)
dekat dengan ayah, (7) tidak sering terjadi konflik dengan ayah (8)
keterusterangan orang tua tentang seks, (9) tidak sering terjadi hukuman dalam
rumah diwaktu kecil.
B. Sistem
Kekerabatan dan Garis Keturunan
Dalam kehidupan bermasyarakat biasanya diatur oleh adat
istiadat atau aturan-aturan yang berlaku di masyarakat itu. Salah satu aspek
kehhidupan masyarakat yang diatur diantaranya adalah organisasi sosial.
Organisasi sosial yang paling dekat dan biasa diterapkan dalam masyarakat kita
ini adalah sistem kekerabatan dan garis keturunannya, yang terdiri atas
keluarga yang dekat dan kaum kerabat lain.
Menurut
R.M Keesiing dan P.M Keesing (1971) bahwa sistem kekerabata dan garis keturunan
merujuk pada keterkaitan darah. Keluarga kita memiliki hubungan darah dengan
kita, tetapi keluarga istri tidak memiliki hubungan darah tetapi terikat oleh
hubungan perkawinan. Selanjutnya S. Belen (1991) menjelaskan bahwa ada tiga
macam sistem kekerabatan yang dikenal dalam masyarakat indonesia, yaitu sistem
kekerabatan bilateral, sistem kekerabatan dan garis keturunan patrilineal,
serta sistem kekerabatan dan garis keturunan matrilineal.
Sistem
kekerabatan bilateral atau parental ini (kata parens berasal dari kata Latin
yang artinya orang tua, ayah dan ibu) hubungan kekerabatan dan garis keturunan
seseorang ditentukan berdasarkan atas kekerabatan dan garis keturunan ayah
maupun kekerabatandan garis ibu serta kerabat-kerabatnya. Hubungan kekerabatan
dan garis keturunan menurut sistem bilateral ini tak dapat diusut terlalu jauh.
Sedangkan
pada sistem kekerabatan dan garis keturunan partilineal (kata pater berasal
dari bahasa Latin yang artinya sama ayah dan linea artinya sama dengan garis)
hubungan kekerabatan garis keturunan seseorang ditentukan berdasarkan atas kekerabatan
dan garis keturunan ayah dan dan kerabat laki-lakinya saja. Dalam sistem
patrilineal ini anak laki-laki akan meneruskan garis keturunannya sedangkan
anak perempuan merupakan anggota sistem kekerabatan dan garis keturunan ini
selama ia belum menikah.
Sementara
itu, sistem kekerabatan dan garis keturunan yang ketiga yang dikenal dan
diterapkan pada masyarakat indonesiaadalah sistem kekerabatan dan garis
keturunan matrilineal (kata mater berasal dari bahasa Latin yang artinya ibu
dan linea jamak artinya sama dengan garis) hubungan kekerabatan dan garis
keturunan seseorang ditentukan berdasarkan atas garis keturunan ibu dan kerabat
perempuan saja. Dalam sistem ini anak perempuan akan meneruskan garis keturunan
dari sistem ini sedangkan anak laki-laki merupakan anggota kekerabatan dan
garis keturunan ini selama ia belum menikah.
Pewarisan
Harta Benda, Pangkat dan Keturunan
Pada masyarakat yang menetapkan sistem kekerabatan dan garis
keturunan bilateral, patrilineal, atau matrilineal akan membawa konsekuensi
tertentu terhadap berbagai hal dalam kehidupan bermasyarakatnya. Menurut
William J. Goode dalam S. Belen (1991) fungsi-fungsi kelompok dalam sistem
kekerabatan dan garis keturunan adalah antara lain:
· Berfungsi untuk memberikan perlindungan
politik dan keluarga ynag tergolong dalam kelompo ini karena kelompok keturunan
dapat mengumpulkan banyak orang.
· Sebagai bank kolektif dan sebagai
pemungut pajak dengan menuntut pada setiap keluarga untuk memberikan sejumlah
sumbangan suatu usaha bersama yang diperlukan, misalnya untuk keperluan
membiayai upacara perkawinan sampai dengan kegiatan perbersihan baru untuk
ladang.
· Mengatur upacara keagamaan dengan
menetapkan beberapa kewajiban misalnya menyediakan penanggungjawab dan
pelaksanaan upacara serta memberikan bantuan biaya untuk upacara tersebut.
· Sebagai penengah pertikaian yang
terjadi antar keluarga. Para sesepuh adat dan biasanya menjadi penengah dalam
pertikaian itu.
Cara
pewarisan pada berbagai masyarakat atau suku bangsa yang ada di indonesia
berlaku prinsip umum yaitu bahwa pewarisan harta benda, pangkat dan keturunan
mengikuti sistem kekerabatan dan garis keturunan yang dianutnya.
Pemilihan
Tempat Tinggal
Ada
empat cara dalam memilih tempat tinggal bagi pasangan suami-istri yang baru
menjalani hidup berumah tangga atau berkeluarga, yaitu partilokal, matrilokal,
bilokal dan neolokal.
Cara
memilih tempat tinggal yang menerapkan patrilokal artinya, istri mengikuti
untuk pindah dan bertempat tinggal pada keluarga suami.
Sementara
yang disebut matrilokalitas, suami mengikuti pindah dan bertempat timggal pada
keluarga istri. Pada masyarakat yang menganut kekerabatan dan garis keturunan
matrilineal, cara memilih tempat tinggal aturan matrilokal ini yang diterapkan.
Apabila suami tidak pindahdan tidak bertempat tinggal dengan keluarga istri,
akan tetapi setidaknya diharapkan pindah dan bertempat tinggal dekat keluarga
istri. Cara memilih tempat tinggal seperti ini disebut dengan uxorilokal (kata
uxor arti nya sama dengan istri) atau uxorilokalitas.
Sedangkan
cara memilih tempat tinggal bilokal (kata bis artinya sama dengan dua) kata
bilokalis, pasangan suami istri yang baru menikah bertempat tinggal pada salah
satu keluarganyaentah itu keluarga suami atau keluarga istri. Akan tetapi hanya
berlangsung sementara waktu saja, kemudian mereka akan pindah ke tempat tinggal
mereka sendiri yang baru,
Pada
cara memilih tempat tinggal yang menerapkan neolokal (kata neo artinya sama
dengan baru) atau neokalitas, pasangan suami istri pindah dan menempati tempat
tinggalnya sendiri. menurut S. Belen (1991), dalam masyarakat tertentu ada
bermacam-macam faktor yang melatarbelakangi cara memilih tempat tinggal mana
yang dianut, antara lain:
· Tempat tinggal sebagian besar menentukan
kekerapan interaksi antara satu tali kekeluargaan dengan yang lainnya.
· Pindah dan bertempat tinggal pada
keluarga suami atau keluarga istri di sertai banyak kewajiban dan peran yang
baru dan tentu juga beberapa penyesuaian-penyesuaian yang baru.
· Pemilihan tempat tinggal dipengaruhi
pula oleh ekonomi suatu masyarakat. Pada masyarakat yang sebagaian besar
tergantung pada pemburuan, menjerat, penebangan kayu, atau penangkapan
ikan, seorang suami berpindah dan bertempat
tinggal pada keluarga istri akan banyak membantu ekonomi keluarga itu jika
pengalaman dan keterampilannya hanya sesuai dengan pekerjaan yang akan
dilakukan.
Pengaruh
istri sangat besar terhadap suami untuk pindah dari tempat tinggal di keluarga
suaminya tinggal yang baru (neolokal) karena kalau tidak pindah dari keluarga
suaminya, istri mungkin berpendapat bahwa suaminya memberikan lebih banyak
perhatian kepada anggota keluarganya yang lain daripada keluarganya. Anak-anak
tidak mendapat bagian yang adil dari ayahnya serta penyesuaian istri terhadap
terhadap banyak orang yang baru terlalu sulit.
C. lingkungan Sekolah
Konsep sistem sosial adalah alat
untuk menjelaskan tentang kelompok-kelompok manusia. Tiap-tiap sistem sosial
terdiri atas pola-pola perilaku tertentu yang memiliki struktur dalam dua arti,
yaitu: pertama, interaksi-interaksi sendiri antara orang-orang yang bersifat
agak mantap dan tidak cepat berubah, dan kedua, perilku-perilaku yang mempunyai
corak atau bentuk yang relatif mantap.
Dalam suatu sistem sosial, paling
tidak ada harus teredapat empat hal, yaitu: (1) dua orang atau lebih, (2)
terjadi interaksi diantara mereka, (3) bertujuan, dan (4) memeiliki struktur,
simbol, dan harapan bersama yang dipedomani. Sistem sosial dapat berfungsi
apabila dipenuhi empat persyaratan: (1) adaptasi, (2) mencapai tujuan, (3)
intregasi, dan (4) pemilihan pola-pola tersembunyi. Sistem sosial terdiri atas
satuan-satuan interaksi sosial yang terbentuk daqri unsur-unsur sosial
mencakup: (I) keyakinan (pengetahuan), (2)perasaan (sentimen), (3) tujun,
sasaran, dan cita-cita, (4) norma, (5) kedudukan peranan (status), (6) tingkat
atau pangkat (rank), (7) kekuasaan atau pengaruh (power), (8)sanksi, (9) sarana atau fasilitas, (10)
tekanan ketegangan (Soelaeman, 2005).
Lingkungan sekolah dalam bahasan ini
adalah pendidikan formal karena sebenarnya banyak agen atau lembaga yang berperan dalm “proses mendidik”
seseorang dimsyarakat. Lingkungan sekolah sebagai bagian dari pewarisan budaya
tiap generasi ke generasai selanjutnnyanmerupakn agen utama dalm pembeljran
keterampilan membaca, menulis, dan berhitung. Sekolah juga berperan untuk
membelajarakan pelajaran-pelajaran yang dibutuhkan dalam masyarakat untuk bekal
hidup. Supaya menjadi efektif, program-program yang diberikan dalam lingkungan
sekolah mesti konsisten dengan sifat alami, kebutuhan, dan
kecenderungn-kecenderungan di masa datang. Karena masyarakat setiap saat
beubah, lingkungan srkolah juga mengikuti perkembangan dari masyarakatnya
(Sweedlun dan Crawford, 1956).
Empat pilar atau fokus pendidikan yang dicanangkan UNESCO
(Delors, 1996) apabila diterapkan di lingkungan sekoalh akan membekali
seseorang dengan kecakapan hidup yang dibutuhkan sebagai bekal hidup di
masyarakatnya. Empat pilar pendidikan itu adalah belajar untuk mengetahui (learning to know). Belajar untuk berbuat
(learning to do), belajar untuk
menjadi jati diri (learning to be),
belajar untuk hidup bermasyarakat dalam damai (learning to live together).
Untuk mencapai empat pilar pendidikan yang disertai kepemilikan
bekal life skills yang dibutuhkan seseorang dari hasil perolehan pendidikannya
di lingkungan sekolah. Berikut ini adalah bekal yang mesti diberikan lingkungan
sekolah supaya menghasilkan generasi baru yang mampu melanjutkan
keberlangsungan masyarakat di masa-masa akan datang.
Life skills adalah pengetahuan dan sikap yang diperlukan
seseorang untuk bisa hidup bermasyarakat. Life skills yang diperlukan seseorang
untuk bisa hidup bermasyarakat diantaranya: lifelong
learning, complex thinking, effective communication, collaboration, responsible
citizen, dan employability (Utah State Board of Education, 1996).
· Life skills tentang “lifelong learning” adalah seseorang yang
menjadi pembelajar sepanjang hayat yang telah memeperoleh pengetahuan dasar dan
telah mengembangkan kecakapan belajar yang mendukung pendiddik berkelanjutan,
mendorong peran serta yang efektif dalam masyarakat yang demokratis dan
memaksimalkan kesempatan untuk bisa kerja.
· Life skills tentang “complex thinking” adalah seseorang yang
menjadi pemikir kompleks yang telah memeperoleh berbagai kecakapan berpikir dan
ia mampu untk menggunakan life skills tersebut dalam situasi problem solving
yang berbeda-beda.
· Life skills tentang “effective communication” adalah
seseorang yang menjadi komunikator sosial yang efektif berinteraksi dengan yang
lain dengan menggunakan berbagai media seperti membaca, menulis, berbicara,
menggambar, bernyanyi, memainkan instrumen, menari, bermain drama, dan memahat.
· Life skills tentang “collaboration” adalah seseorang yang
menjadi kolaborator untuk siap bekerjasama secara efektif dengan orang lain
dalm mencapai hasil yang telah ditentukan.
· Life skills tentang “responsible citizen” adalah seseorang
yang menjadi warganegara yang berpartisipasi dalam masyarakat lokal dan dunia
untuk mempromosikan kebajikan pribadi dan masyarakat.
· Life skills tentang “employability” adalah kemampuan sesorang
sebelum ia terjun ke masyarakat adalah “employ-ability
skills”. Life skills ini diartikan sebagai seseorang dalam bekerja yang
sebelumnya dipersiapkan untuk memperoleh dan mempertahankan pekerjaan yang
digelutinya dan individu itu mampu meningkatkan kariernya serta mampu mencari
pengetahuan dan latihan tambahan yang
diperluka untuk kebutuhan pekerjaannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar