A.
Pengertian Utang Piutang
Di dalam fiqih Islam, hutang piutang atau
pinjam meminjam telah dikenal dengan istilah Al-Qardh. Makna Al-Qardh secara
etimologi (bahasa) ialah Al-Qath’u yang berarti memotong. Diartikan demikian
karena orang yang memberikan utang memotong sebagian dari hartanya untuk
diberikan kepada yang menerima utang. Sedangkan secara terminologis (istilah
syar’i), makna Al-Qardh ialah menyerahkan harta (uang) sebagai bentuk kasih
sayang kepada siapa saja yang akan memanfaatkannya dan akan dikembalikan
berdasarkan kesepakatan yang telah disepakati. Meberikan utang merupakan
kebajikan yang membawa kemudahan kepada muslim yang mengalami kesulitan dan
membantunya dalam memenuhi kebutuhan.
B. Hukum Utang Piutang dan Hikmahnya
Hukum Hutang piutang pada asalnya diperbolehkan dalam syariat Islam. Bahkan
orang yang memberikan hutang atau pinjaman kepada orang lain yang sangat
membutuhkan adalah hal yang disukai dan dianjurkan, karena di dalamnya terdapat
pahala yang besar. Adapun dalil-dalil disyari’atkannya Qardh adalah sebagai
berikut: 1. Surah Al-Baqarah ayat 245: “Siapakah yang mau memberi pinjaman
kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka
Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang
banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu
dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245) 2. Surah Al-Hadid ayat 11: “Siapakah yang
mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, Maka Allah akan
melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan Dia akan memperoleh
pahala yang banyak.” (QS. Al-Hadid: 11) 3. Surah Al-Taghabun ayat 17: “Jika
kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah melipat
gandakan balasannya kepadamu dan mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pembalas Jasa
lagi Maha Penyantun.” (QS. Al-Taghabun: 17) Ayat-ayat diatas berisi anjuran
untuk melakukan Qardh atau meberikan utang kepada orang lain, dan imbalannya
adalah akan dilipatgandakan oleh Allah SWT. Nabi SAW juga bersabda : “Setiap
muslim yang memberikan pinjaman kepada sesamanya dua kali, maka dia itu seperti
orang yang bersedekah satu kali.” (Hadits ini di-hasan-kan oleh Al-Albani di
dalam Irwa’ Al-ghalil Fi Takhrij Ahadits manar As-sabil . Berdasarkan
hadist diataspun jelas sekali bahwa memberikan utang sangat dianjurkan, dan
akan diberi imbalan oleh Allah SWT. Adapun hikmah disyari’atkannya qardh
ditinjau dari sisi sang penerima qardh adalah dapat membantu mengatasi
kesulitan yang sedang dialaminya. Sedangkan ditinjau dari sang pemberi qardh
adalah dapat menumbuhkan rasa kasih sayang dan tolong menolong sesama
saudaranya dan peka terhadap kesulitan yang dialami oleh saudara, teman,
ataupun tetangganya. Dari pembahasan di atas, kita telah mengetahui dan
memahami bahwa hukum berhutang atau meminta pinjaman adalah diperbolehkan, dan
bukanlah sesuatu yang dicela atau dibenci, karena Nabi SAW pernah berhutang.
Namun meskipun demikian, hanya saja Islam menyuruh umatnya agar menghindari
hutang semaksimal mungkin jika ia mampu membeli dengan tunai atau tidak dalam
keadaan kesempitan ekonomi. Karena hutang, menurut Rasulullah SAW, merupakan
penyebab kesedihan di malam hari dan kehinaan di siang hari. Hutang juga dapat
membahayakan akhlaq, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Sesungguhnya seseorang
apabila berhutang, maka dia sering berkata lantas berdusta, dan berjanji lantas
memungkiri.” (HR. Bukhari). Rasulullah SAW pernah menolak menshalatkan jenazah
seseorang yang diketahui masih meninggalkan hutang dan tidak meninggalkan harta
untuk membayarnya. Rasulullah SAW bersabda: “Akan diampuni orang yang mati
syahid semua dosanya, kecuali hutangnya.” (HR. Muslim III/1502 no.1886, dari
Abdullah bin Amr bin Ash R.A). Dan dari Ibnu Umar R.A bahwa Rasulullah SAW
bersabda: “Barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan menanggung hutang satu
Dinar atau satu Dirham, maka dibayarilah (dengan diambilkan) dari kebaikannya;
karena di sana tidak ada lagi Dinar dan tidak (pula) Dirham.” (HR. Ibnu Majah
II/807 no: 2414. dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani).
C. Rukun dan Syarat
Utang Piutang Adapun yang menjadi rukun qardh adalah: 1. Muqridh (yang
memberikan pinjaman). 2. Muqtaridh (peminjam). 3. Qardh (barang yang
dipinjamkan) 4. Ijab qabul Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam
akad qardh adalah: 1. Orang yang melakukan akad harus baligh, dan berakal. 2.
Qardh harus berupa harta yang menurut syara’ boleh digunakan/dikonsumsi. 3.
Ijab qabul harus dilakukan dengan jelas.
D. Hukum Qardh Menurut Malikiyah,
qardh hukumnya sama dengan hibah, shadaqah dan ‘ariyah, berlaku dan mengikat
dengan telah terjadinya akad walaupun muqtaridh belum menrima barangnya.
Muqtaridh boleh mengembalikan persamaan dari barang yang dipinjamnya, dan boleh
pula mengembalikan jenis barangnya, baik barang tersebut mitslii atau ghair mitslii,
apabila barang tersebut belum berubah dengan tambah atau kurang. Apabila barang
telah berubah, maka muqtaridh wajib mengembalikan barang yang sama. Menurut
pendapat yang sahih dari Syafi’iyah dan Hanabilah, kepemilikan dalam qardh
berlaku apabila barang telah diterima. Muqtaridh mengembalikan barang yang sama
kalau barangnya maal mitslii. Menurut Syafi’iyah, apabila barangnya maal qiimii
maka ia mengembalikannya dengan barang yang nilainya sama dengan barang yang
dipinjamnya. Menurut Hanabilah, dalam barang-barang yang ditaksir (makilat) dan
ditimbang (mauzunat), sesuai dengan kesepakatan fuqahaa, dikembalikan dengan
barang yang sama. Sedangkan dalam barang yang bukan makilat dan mauzunat, ada
dua pendapat. Pertama, dikembalikan dengan harganya yang berlaku pada saat
utang. Kedua, dikembalikan dengan barang yang sama yang sifat-sifatnya
mendekati dengan barang yang diutang atau dipinjam.
E. Adab-adab Islam Tentang
Qardh 1. Qardh harus dituliskan dan dipersaksikan Firman Allah SWT: “Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang
penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia
menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang ditulis
itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia
mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang
lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu).
Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka
seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi
keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang
itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu,
lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat
kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika
mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada
dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu
berjual beli ; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika
kamu lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan
pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah ; Allah mengajarmu ; dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah: 282) Berkaitan dengan ayat ini,
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “ini merupakan petunjuk dari-Nya untuk para
hamba-Nya yang mukmin. Jika mereka bermu’amalah dengan transaksi non tunai,
hendaklah ditulis, agar lebih terjaga jumlahnya dan waktunya dan lebih
menguatkan saksi. Dan di ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
mengingatkan salah satu ayat: “Hal itu lebih adil di sisi Allah dan memperkuat
persaksian dan agar tidak mendatangkan keraguan”. 2. Pemberi hutang atau
pinjaman tidak boleh mengambil keuntungan atau manfaat dari orang yang
berhutang. Kaidah fiqih berbunyi: “Setiap hutang yang membawa keuntungan, maka
hukumnya riba”. Hal ini terjadi jika salah satunya mensyaratkan atau
menjanjikan penambahan. Dengan kata lain, bahwa pinjaman yang berbunga atau
mendatangkan manfaat apapun adalah haram berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan
ijma’ para ulama. Keharaman itu meliputi segala macam bunga atau manfaat yang
dijadikan syarat oleh orang yang memberikan pinjaman kepada si peminjam. Karena
tujuan dari pemberi pinjaman adalah mengasihi si peminjam dan menolongnya.
Tujuannya bukan mencari kompensasi atau keuntungan. Dengan dasar itu, berarti
pinjaman berbunga yang diterapkan oleh bank-bank maupun rentenir di masa
sekarang ini jelas-jelas merupakan riba yang diharamkan oleh Allah dan
Rasul-Nya. sehingga bisa terkena ancaman keras baik di dunia maupun di akhirat
dari Allah SWT. 3. Melunasi hutang dengan cara yang baik Hal ini sebagaimana
hadis Nabi SAW: Dari Abu Hurairah R.A, ia berkata: “Nabi SAW mempunyai hutang
kepada seseorang, (yaitu) seekor unta dengan usia tertentu. Orang itupun datang
menagihnya. (Maka) beliaupun berkata, “Berikan kepadanya” kemudian mereka
mencari yang seusia dengan untanya, akan tetapi mereka tidak menemukan kecuali
yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun) berkata: “Berikan kepadanya”, Dia
pun menjawab, “Engkau telah menunaikannya dengan lebih. Semoga Allah SWT
membalas dengan setimpal”. Maka Nabi SAW bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah
orang yang paling baik dalam pengembalian (hutang)”. (HR. Bukhari, II/843, bab
Husnul Qadha’ no. 2263.) Termasuk cara yang baik dalam melunasi hutang adalah
melunasinya tepat pada waktu pelunasan yang telah ditentukan dan disepakati
oleh kedua belah pihak (pemberi dan penerima hutang), melunasi hutang di rumah
atau tempat tinggal pemberi hutang, dan semisalnya. 4. Berhutang dengan niat baik
dan akan melunasinya Jika seseorang berhutang dengan tujuan buruk, maka dia
telah berbuat zhalim dan dosa. Diantara tujuan buruk tersebut seperti: a).
Berhutang untuk menutupi hutang yang tidak terbayar b). Berhutang untuk sekedar
bersenang-senang c). Berhutang dengan niat meminta. Karena biasanya jika
meminta tidak diberi, maka digunakan istilah hutang agar mau memberi. d).
Berhutang dengan niat tidak akan melunasinya. 5. Berupaya untuk berhutang dari
orang sholih yang memiliki profesi dan penghasilan yang halal. Sehingga dengan
meminjam harta atau uang dari orang sholih dapat menenangkan jiwa dan
menjauhkannnya dari hal-hal yang kotor dan haram. Sehingga harta pinjaman
tersebut ketika kita gunakan untuk suatu hajat menjadi berkah dan mendatangkan
ridho Allah. Sedangkan orang yang jahat atau buruk tidak dapat menjamin
penghasilannya bersih dan bebas dari hal-hal yang haram. 6. Jika terjadi
keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah orang yang berhutang
memberitahukan kepada orang yang memberikan pinjaman. Karena hal ini termasuk
bagian dari menunaikan hak yang menghutangkan. Janganlah berdiam diri atau lari
dari si pemberi pinjaman, karena akan memperparah keadaan, dan merubah hutang,
yang awalnya sebagai wujud kasih sayang, berubah menjadi permusuhan dan
perpecahan. 7. Menggunakan uang pinjaman dengan sebaik mungkin. Menyadari,
bahwa pinjaman merupakan amanah yang harus dia kembalikan. 8. Bersegera
melunasi hutang 9. Memberikan Penangguhan waktu kepada orang yang sedang
kesulitan dalam melunasi hutangnya setelah jatuh tempat.
.
KESIMPULAN
Qardh
(hutang piutang) pada intinya adalah perbuatan atau aktifitas yang mempunyai
tujuan untuk membantu orang lain yang sedang membutuhkan pertolongan berupa
materi, dan sangat dianjurkan karena memberikan hikmah dan manfaat bagi pemberi
utang maupun bagi penerima utang. Qardh diperbolehkan selama tidak ada
unsur-unsur yang merugikan salah satu pihak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar