A.
Teori
Belajar Bermakna David Ausubel
Inti dari teori Ausubel tentang belajar adalah
belajar bermakna. Belajar bermakna merupakan suatu proses dikaitkanya informasi
baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang
(Dahar dalam Trianto,
2010). Faktor yang paling penting yang
memengaruhi belajar ialah apa yang telah diketahui siswa. Pernyataan inilah
yang menjadi inti dari teori belajar Ausubel. Dengan demikian agar terjadi
belajar bermakna, konsep baru atau informasi baru harus dikaitkan dengan
konsep-konsep yang sudah ada dalam struktur kognitif siswa.
Berdasarkan
teori Ausubel, dalam membantu siswa menanamkan pengetahuan baru dari suatu
materi, sangat diperlukan konsep-konsep awal yang sudah dimiliki siswa yang
berkaitan dengan konsep apa yang dipelajari. Sehingga jika dikaitkan dengan model
pembelajaran berdasarkan masalah, dimana siswa mampu mengerjakan permasalahan
yang autentik sangat memerlukan konsep awal yang sudah dimiliki siswa
sebelumnya untuk suatu penyelesaian nyata dari permasalahan yang nyata.
Pendapat lain
dikemukakan oleh Rusman (2012:244), Ausubel membedakan antara belajar bermakna
(meaningfull learning) dengan belajar
menghafal (rote learning). Belajar bermakna
merupakan proses belajar di mana informasi baru dihubungkan dengan struktur
pengertian yang sudah dimiliki seseorang yang sedang belajar. Belajar
menghafal, diperlukan bila seseorang memperoleh informasi baru dalam
pengetahuan yang sama sekali tidak berhubungan dengan yang telah diketahui.
Menurut Dina Oktaria, teori belajar bermakna
Ausuble ini sangat dekat dengan Konstruktivisme. Keduanya menekankan pentingnya pelajar
mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru kedalam sistem
pengertian yang telah dimilikinya. Keduanya menekankan pentingnya asimilasi
pengalaman baru kedalam konsep atau pengertian yang sudah dipunyai siswa.
Keduanya mengandaikan bahwa dalam proses belajar itu siswa aktif.
Ausubel berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan
potensi kognitif siswa melalui proses belajar yang bermakna. Sama seperti
Bruner dan Gagne, Ausubel beranggapan bahwa aktivitas belajar siswa, terutama
mereka yang berada di tingkat pendidikan dasar akan bermanfaat kalau mereka
banyak dilibatkan dalam kegiatan langsung. Namun untuk siswa pada tingkat
pendidikan lebih tinggi, maka kegiatan langsung akan menyita banyak waktu.
Menurut Ausubel, lebih efektif kalau guru menggunakan penjelasan, peta konsep,
demonstrasi, diagram, dan ilustrasi. Inti dari teori belajar bermakna Ausubel adalah
proses belajar akan mendatangkan hasil atau bermakna kalau guru dalam menyajikan
materi pelajaran yang baru dapat menghubungkannya dengan konsep yang relevan
yang sudah ada dalam struktur kognisi siswa.
Berdasarkan pada pandangannya mengenai teori belajar
bermakna, maka David Ausubel mencetuskan
empat tipe belajar, yaitu:
1.
Belajar dengan penemuan yang bermakna yaitu mengaitkan pengetahuan yang
telah dimilikinya dengan materi pelajaran yang dipelajari itu. Atau
sebaliknya, siswa terlebih dahulu menemukan pengetahuannya dari apa yang telah
ia pelajari kemudian pengetahuan baru tersebut ia kaitkan dengan pengetahuan
yang sudah ada.
2.
Belajar
dengan penemuan yang tidak bermakna yaitu pelajaran yang dipelajari
ditemukan sendiri oleh siswa tanpa mengaitkan pengetahuan yang telah
dimilikinya, kemudian dia hafalkan.
3.
Belajar
menerima (ekspositori) yang bermakna yaitu materi
pelajaran yang telah tersusun secara logis disampaikan kepada siswa sampai
bentuk akhir, kemudian pengetahuan yang baru ia peroleh itu dikaitkan dengan
pengetahuan lain yang telah dimiliki.
4.
Belajar
menerima (ekspositori) yang tidak bermakna yaitu materi
pelajaran yang telah tersusun secara logis disampaikan kepada siswa sampai
bentuk akhir, kemudian pengetahuan yang baru ia peroleh itu dihafalkan tanpa
mengaitkannya dengan pengetahuan lain yang telah ia miliki.
Penerapan teori David Ausubel dalam pembelajaran bisa kita
lihat jika seseorang belajar dengan mengasosiasikan fenomena, pengalaman dan
fakta-fakta baru ke dalam skemata yang telah dipelajari. Dengan model cooperative learning materi yang
dipelajarinya tidak hanya sekadar menjadi sesuatu yang dihafal dan diingat
saja, melainkan ada sesuatu yang dapat dipraktikkan dan dilatihkan dalam
situasi nyata dan terlibat dalam pemecahan masalah. Akan tetapi jika siswa hanya mencoba-coba menghapal
informasi baru tanpa menghubungkan dengan konsep-konsep yang telah ada dalam
struktur kognitifnya, maka dalam hal ini terjadi proses belajar hafalan. Diharapkan model cooperative learning akan dapat mengusir
kejenuhan dan kebosanan yang dirasa siswa di kelas karena selama ini hanya
mendengarkan materi dari guru saja. Penekanan dan model cooperative learning sendiri adalah selain siswa mendapat bimbingan
langsung dari guru, mereka juga diberi kebebasan untuk memecahkan masalah lewat
pengetahuan yang mereka dapatkan sendiri.
B. Teori
Penemuan Jerome Bruner
Jerome
S. Bruner adalah seorang ahli psikologi perkembangan dan ahli psikologi belajar
kognitif. Salah satu model
instruksional kognitif yang sangat berpengaruh adalah model dari Jerome Bruner
yang dikenal dengan belajar penemuan (Discovery
Learning). Bruner menganggap,
bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh
manusia, dan dengan sendirinya memberi hasil yang paling baik. Berusaha sendiri
untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan
pengetahuan yang benar-benar bermakna (Dahar dalam Trianto, 2010).
Bruner
menyarankan agar siswa-siswa hendaknya belajar melalui partisipasi aktif dengan
konsep-konsep dan prinsip-prinsip, agar mereka dianjurkan untuk memperoleh
pengalaman, dan melakukan eksperimen-eksperimen yang mengizinkan mereka untuk
menemukan prinsip-prinsip itu sendiri.
Menurut Rusman
(2012:244), teori belajar Jerome Bruner merupakan metode penemuan di mana siswa
menemukan kembali, bukan menemukan yang sama sekali benar-benar baru. Belajar
penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia, dengan
sendirinya memberikan hasil yang lebih baik, berusaha sendiri mencari pemecahan
masalah serta didukung oleh pengetahuan yang menyertainya, serta menghasilkan
pengetahuan yang benar-benar bermakna.
Pendapat lain dikemukakan oleh Uno dan Mohamad
(2012: 140), Bruner membagi proses belajar menjadi tiga fase yaitu adalah: (1)
tahap informasi, yaitu tahap awal untuk memperoleh pengetahuan atau pengalaman
baru, (2) tahap transformasi, yaitu tahap memahami, mencerna dan menganalisis
pengetahuan baru serta ditransformasikan dalam bentuk baru yang mungkin
bermanfaat untuk hal-hal yang lain, dan (3) evaluasi, yaitu untuk mengetahui
apakah hasil tranformasi pada tahap kedua tadi benar atau tidak. Hal ini berarti bahwa dalam setiap pelajaran
diperoleh informasi, dan informasi kemudian dianalisis dan ditranformasikan ke
dalam bentuk yang lebih konseptual agar dapat digunakan untuk hal-hal yang
lebih luas. Melalui bantuan guru Kemudian dinilai sampai di mana pengetahuan
yang diperoleh dan tranformasi itu dimanfaatkan untuk memahami gejala-gejala
lain. Dalam setiap proses belajar ketiga fase tersebut selalu ada.
Dalam pelaksanaan
proses belajar mengajar di kelas, guru selain sebagai pendidik, pembimbing, dan
pengarah serta narasumber pengetahuan juga sebagai motivator yang
bertanggungjawab atas perkembangan kepribadian siswa. Dengan kata lain, guru
sebagai pendidik selain harus menciptakan suatu proses pembelajaran yang
kondusif dan bermakna sesuai metode pembelajaran juga harus mampu meningkatkan
perhatian dan minat serta motivasi belajar siswa dalam mengikuti pelajaran dan
membantu siswa dalam menggunakan berbagai kesempatan belajar, sumber dan media.
Menurut Arif
Widyatmoko, teori Bruner
mempunyai ciri khas daripada teori belajar yang lain yaitu tentang ”discovery” yaitu belajar dengan
menemukan konsep sendiri. Disamping itu, karena teori Bruner ini banyak
menuntut pengulangan-penulangan, maka desain yang berulang-ulang itu disebut ”kurikulum spiral kurikulum”. Secara
singkat, kurikulum spiral menuntut
guru untuk memberi materi pelajaran setahap demi setahap dari yang sederhana ke
yang kompleks, dimana materi yang sebelumnya sudah diberikan suatu saat muncul
kembali secara terintegrasi di dalam suatu materi baru yang lebih kompleks.
Demikian seterusnya sehingga siswa telah mempelajari suatu ilmu pengetahuan
secara utuh. Bruner berpendapat bahwa seseorang murid belajar dengan cara
menemui struktur konsep-konsep yang dipelajari. Anak-anak membentuk konsep
dengan melihat benda-benda berdasarkan ciri-ciri persamaan dan perbedaan.
Selain itu, pembelajaran didasarkan kepada merangsang siswa menemukan
konsep yang baru dengan menghubungkan kepada konsep yang lama melalui
pembelajaran penemuan.
Penerapan teori penemuan Jerome
Bruner dalam pembelajaran yaitu
konsep belajar discovery dalam
pembelajaran diantaranya; Pertama Simulation,
guru mulai bertanya dengan mengajukan persoalan, atau menyuruh anak didik untuk
membaca atau mendengarkan uraian yang memuata uraian permasalahan. Kedua Problem Statement, anak didik diberi kesempatan
mengidentifikasi berbagai permasalahan.
Sebagian besar memilihnya yang dipandang paling menarik dan fleksibel
untuk dipecahakan. Permasalahan yang dipilih itu selanjutnya harus dirumuskan
dalam bentuk pertanyaan, atau hipotesis, yakni pernyataan sebagai jawaban sementara atas pertanyaan
yang di ajukan. Ketiga Data Collection, Untuk menjawab pertanyaan
atau membuktikan benar tidaknya hipotesis ini, anak didik diberi kesempatan
untuk mengumpulkan berbagai informasi
yang relavan, membaca literature
mengamati objek, wawancara dengan narasumber, melakukan uji coba sendiri, dan
sebagainya. Keempat Data Prossesing.
Semua informasi hasil bacaan, wawancara observasi, dan sebagainya, semunya
diolah, diacak, diklasifikasikan, bahkan apabila perlu dihitung dengan cara
tertentu serta ditafsirkan pada tingkat kepercayaan tertentu. Kelima
Verfication, atau pembuktian.
Berdasarkan hasil pengolahan dan tafsiran, atau informasi yang ada, pernyataan
atau hipotesis yang telah dirumuskan terdahulu itu kemudian dicek, apakah
terjawab atau tidak, apakah terbukti atau tidak. Keenam. Generalization. Tahap selanjutnya berdasarkan verfikasi
tadi, anak didik belajar menarik kesimpulan atau generalisasi tertentu.
C. Teori
Pembelajaran Sosial Vygotsky
Vygotsky
merupakan salah seorang tokoh konstruktivisme yang telah banyak memberi
sumbangan dalam pembelajaran. Teori pembelajaran sosial Vygotsky, menekankan
pada aspek sosial dalam pembelajaran.
Vygotsky berpendapat bahwa siswa membentuk pengetahuan sebagai hasil dari
pikiran dan kegiatan siswa sendiri melalui bahasa. Vygotsky berkeyakinan bahwa
perkembangan tergantung baik pada faktor biologis menentukan fungsi-fungsi elementer memory, atensi, persepsi, dan
stimulus-respons, faktor sosial sangat penting artinya bagi perkembangan fungsi
mental lebih tinggi untuk pengembangan konsep, penalaran logis, dan pengambilan
keputusan.
Teori
Vygotsky ini lebih menekankan pada aspek sosial pada pembelajaran. Menurut
Vygotsky bahwa proses pembelajaran akan terjadi jika anak bekerja atau
menangani tugas-tugas yang belum dipelajari, namun tugas-tugas tersebut masih
berada dalam jangkauan mereka disebut dengan zone of proximal development, yakni daerah tingkat perkembangan sedikit diatas
daerah perkembangan seseorang saat ini. Vygotsky yakin bahwa fungsi mental yang
lebih tinggi pada umumnya muncul dalam percakapan dan kerja sama antar-individu
sebelum fungsi mental yang lebih tinggi itu terserap ke dalam individu
tersebut. Untuk memaksimalkan perkembangan,
siswa seharusnya bekerja dengan teman yang lebih terampil yang dapat memimpin
secara sistematis dalam memecahkan masalah yang lebih kompleks. Melalui
perubahan yang berturut-turut dalam berbicara dan bersikap, siswa mendiskusikan
pengertian barunya dengan temannya kemudian mencocokkan dan mendalami kemudian
menggunakannya.
Satu
lagi ide penting dari Vygotsky adalah Scaffolding
yakni pemberian bantuan
kepada anak selama tahap-tahap awal perkembanganya dan mengurangi bantuan
tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak untuk mengambil alih tanggung
jawab yang semakin besar segera setelah anak dapat melakukanya. Bantuan
yang diberikan pembelajar dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan,
menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri. Penafsiran
terkini terhadap ide-ide Vygotsky adalah siswa seharusnya diberikan tugas-tugas
kompleks, sulit dan realistiks dan kemudian diberikan bantuan secukupnya untuk
menyelesaikan tugas-tugas itu. Hal ini bukan berati bahwa diajar sedikit demi
sedikit komponen-komponen suatu tugas yang kompleks yang ada pada suatu hari
diharapkan akan terwujud menjadi suatu kemampuan untuk menyelesaikan tugas
kompleks tersebut (Nur dan Wikandri dalam Trianto, 2010).
Menurut Rusman
(2012:244), perkembangan intelektual terjadi pada saat individu berhadapan
dengan pengalaman baru dan menantang serta ketika mereka berusaha untuk
memecahkan masalah yang dimunculkan. Dalam upaya mendapatkan pemahaman,
individu berusaha mengaitkan pengetahuan baru dengan pengetahuan awal yang telah
dimilikinya Kemudian membangun pengertian baru. Vygotsky menyakini bahwa
interaksi sosial dengan teman lain memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya
perkembangan intelektual siswa.
Penerapan teori Vygotsky
dalam pembelajaran yaitu ada dua hal penting
yang berkenaan dengan pengetahuan yang dikontruksi oleh pelajar. Pertama adalah pelajar membangun satu
pengertian baru dengan menggunakan apa yang sudah mereka ketahui sebelumnya.
Dalam hal ini tidak ada “tabularasa” dimana pengetahuan digoreskan. Pelajar
akan memasuki suasana pembelajaran dimana pengetahuan yang diterima akan
dihubungkan dengan pengalaman yang sudah ada sebelumnya dan pengetahuan yang
sudah dimiliki saat ini akan mempengaruhi penerimaan pengetahuan yang baru.
Dalam hal ini, ada teori yang mengungkapkan bahwa yang terjadi dalam diri anak
adalah sesuai dengan “convergentie
theorie”. Teori ini mengajarkan bahwa seorang anak terlahir ibarat kertas
yang sudah ada tulisannya, akan tetapi semua tulisan itu masih kabur atau
suram.
Tugas pembelajaran adalah membantu anak untuk mempertebal
tulisan-tulisan yang bersifat baik sehingga kelak dapat berubah menjadi ilmu
yang berguna dan budi pekerti yang baik. Sedangkan yang sifatnya jelek
harus dibiarkan agar bertambah suram atau bahkan menghilang. Ki Hajar menentang
teori tabula rasa yang menganggap anak terlahir bagaikan kertas putih yang bisa
ditulisi apa saja, atau teori aliran negatif yang menganggap anak lahir
bagaikan kertas yang sudah penuh dengan tulisan yang tidak dapat diubah isinya
. Kedua adalah bahwa pembelajaran lebih bersifat aktif dan bukan pasif. Pelajar
akan membandingkan apa yang baru dipelajarinya dengan apa yang diketahuinya.
Jika terdapat perbedaan, maka pelajar akan mencoba mengakomodasikan apa yang
baru dipelajarinya dengan memodifikasi pengetahuan yang sudah ada atau
dimilkinya. Dalam proses ini akan terjadi proses pertimbangan oleh pelajar yang
akan diakhiri dengan proses modifikasi jika pengetahuan baru tersebut dapat
diterima.
Perkembangan termasuk internalisasi
atau penyerapan isyarat-isyarat sehingga anak-anak dapat berfikir dan
memecahkan masalah tanpa bantuan orang lain. Internalisasi ini disebut
pengaturan diri. Langkah pertama dari pengaturan diri dan pemikiran mandiri
adalah mempelajari bahwa segala sesuatu memiliki makna. Langkah kedua dalam
pengembangan struktur-struktur internal dan pengaturan diri adalah latihan.
Siswa berlatih gerak-gerak isyarat yang akan mendatangkan perhatian. Kemudian
langkah terakhir termasuk penggunaan isyarat dan memecahkan masalah tanpa
bantuan orang lain.
Menurut Vygotsky, dengan melibatkan
anak berdiskusi dan berfikir dalam mempelajari segala kejadian, akan mendorong
anak untuk merefleksikan apa yang telah dikatakan atau diperbuatnya. Hal ini
dapat menjadi “inner speech” atau “inner dialogue”, dialog dengan dirinya
sendiri. Ini proses awal bagi anak untuk mengetahui tentang dirinya sendiri.
Selanjutnya, dikemudian hari ia akan mampu mengevaluasi diri, menganalisis
kekurangan serta kekuatan yang dimilikinya. Dengan terbiasa melibatkan anak
diskusi, akan membantu anak untuk bisa berfikir pada tahapan yang lebih tinggi
atau meta-kognitif. Proses seperti ini dapat membuatnya menjadi manusia
spiritual, yaitu manusia yang tahu siapa dirinya, dan mempunyai kesadaran bahwa
dirinya adalah bagian dari masyarakat, komunitas dan alam semesta.
Teori
kontrukivis sosial dibangun berdasarkan pengembangan yang dibuat oleh Lev
Vygotsky. Vygotsky menekankan pada lingkungan sosial yang ikut membantu
perkembangan seorang anak. Bagi Vygotsky, budaya sangat berpengaruh sekali
dalam membentuk strutur kognitif anak. Yang membantu perkembangan anak bukan
hanya guru, tetapi jaga anak-anak yang lebih dewasa. Dalam konsep ini seorang
anak dapat memahami suatu konsep dengan bantuan orang lain yang lebih dewasa
yang tidak bisa dilakukannya sendiri. Dengan begitu seorang anak akan lebih
mengerti dan mempunyai banyak pengalaman dan wawasan serta dapat menyelesaiakan
suatu permasalahan yang dianggapnya rumit dan memerlukan bantuan orang lain
yang dianggapnya mampu membantu untuk menyelesaikan permasalahan tersebut,
suatu wawasan yang tidak hanya didapat didalam sekolah tapi diluar sekolah. Dan
permasalahan tersebut yang ada hubungannya dengan sekolah. Disini para
pendukung kontruktivisme yakin bahwa pengalaman melalui lingkungan, kita akan
memperoleh informasi, dan dapat menggabungkan pengalaman yang didapat
sebelumnya dengan pengalaman yang baru. Dengan kata lain pada proses belajar
masing-masing pelajar harus mengkreasikan pengetahuannya
D. Teori
Pembelajaran Perilaku Skinner
Skinner,
seorang tokoh yang sangat berperan dalam teori pembelajaran perilaku yang telah
mempelajari hubungan antara tingkah laku dan konsekuensinya mengemukakan bahwa
belajar merupakan perubahan perilaku. Teori
Skinner sering juga disebut dengan operant
conditioning (Gredler
dalam Trianto,
2010).
Prinsip
yang paling penting dari teori belajar perilaku adalah perilaku berubah sesuai
dengan konsekuensi-konsekuensi langsung dari perilaku tersebut. Konsekuensi
yang menyenangkan akan memperkuat perilaku, sedangkan konsekuensi-konsekuensi
yang tidak menyenangkan akan memperlemah perilaku. dengan kata lain
konsekuensi-konsekuensi yang menyenangkan akan meningkatkan frekuensi seseorang
untuk melakukan perilaku yang serupa (Budayasa dalam Trianto, 2010).
Konsekuensi yang menyenangkan
disebut penguatan (reinforcement), sedangkan konsekuensi yang tidak menyenangkan
disebut hukuman (punisher). Penggunaan konsekuensi-konsekuensi yang
menyenangkan dan yang tidak menyenangkan untuk mengubah perilaku disebut
pengkondisian operan (operan
condiotioning). Dengan diberikanya penguatan dan hukuman itu, maka akan
terjadi perubahan perilaku. Karena itu, memberikan konsekuensi penguatan atau
hukuman yang sesegera mungkin akan lebih baik daripada diberikan belakangan dan
akan memberikan pengaruh positif terhadap perilaku selanjutnya. Jadi pemberian
konsekuensi sesegera mungkin dalam proses pembelajaran itu penting, supaya
kesalahan yang sama tidak dilakukan lagi oleh para siswa.
Pendapat
tentang teori pembelajaran perilaku juga
diungkapkan oleh Mahmudah (2011:73), Skinner merupakan tokoh behavioris dengan
pendekatan model intruksi langsung. Cara mengajar guru dilakukan secara searah
dan dikontrol melalui pengulangan (drill)
dan latihan (exercise). Manajemen
kelas menurut Skinner berupa usaha untuk memodifikasi perilaku antara lain
dengan proses penguatan yaitu memberikan penghargaan pada perilaku yang
diinginkan dan tidak memberi ingatan apapun pada perilaku yang tidak tepat.
Skinner menyatakan bahwa unsur terpenting dalam belajar adalah reinforcement maksudnya pengetahuan yang
terbentuk melalui ingatan stimulus-respon akan semakin kuat apabila diberi
penguatan.
Skinner
membagi penguatan menjadi dua yaitu penguatan positif dan penguatan negatif.
Bentuk-bentuk penguatan positif seperti; hadiah, permen, kado, senyum,
bertepuktangan, mengacungkan jempol. Sedangkan penguatan negatif seperti;
memberikan tugas tambahan.
Konsep-konsep
yang dikemukakan oleh Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para
tokoh sebelumnya. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang
terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan
perubahan tingkah laku. Dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar
harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta
memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin
timbul akibat respon tersebut.
Skinner membuat eksperimen sebagai berikut: dalam
laboratorium, Skinner memasukkan tikus yang telah dilaparkan dalam kotak yang
disebut “Skinner box”, yang sudah
dilengkapi dengan berbagai peralatan, yaitu tombol, alat memberi makanan,
penampung makanan, lampu yang dapat diatur nyalanya, dan lantai yang dapat
dialiri listrik.
Karena dorongan lapar (hunger drive), tikus berusaha keluar untuk mencari makanan. Selama
tikus bergerak kesana-kemari untuk keluar dari box, tidak sengaja ia menekan tombol, makanan keluar. Secara
terjadwal diberikan makanan secara bertahap sesuai peningkatan perilaku yang
ditunjukkan si tikus, proses ini disebut shaping.
Berdasarkan berbagai percobaannya pada tikus dan burung merpati, Skinner
menyatakan bahwa unsur terpenting dalam belajar adalah penguatan (reinforcement). Maksudnya adalah
pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus-respon akan semakin kuat bila diberi penguatan.
Beberapa prinsip belajar Skinner antara lain:
1.
Hasil
belajar harus segera diberitahukan kepada siswa, jika salah dibetulkan, jika
benar diberi penguat.
2.
Proses
belajar harus mengikuti irama dari yang belajar.
3.
Materi
pelajaran, digunakan sistem modul.
4.
Dalam proses
pembelajaran, lebih dipentingkan aktivitas sendiri.
5.
Dalam proses
pembelajaran, tidak digunakan hukuman. Namun ini lingkungan perlu diubah, untuk
menghindari adanya hukuman.
6.
Dalam
pembelajaran, digunakan shaping.
7.
Tes lebih ditekankan untuk kepentingan diagnostic.
8.
Dalam belajar mengajar menggunakan teaching machine.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar